KIAT MENANGANI SISWA YANG BERMASALAH DI SEKOLAH

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.

 

Makalah ini merupakan salah satu tugas dari Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan. Selesainya penyusunan makalah ini berkat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

 

  1. Ibu Paulina F. V. L. D. Kafiar, S.Pd, M.Pd, FLE selaku Dosen Pengampu Mata KuliahPengantar Ilmu Pendidikan yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan perkuliahan.
  2. Rekan-rekan semua di FakultasSastra.

 

Semoga Tuhan memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkompeten. Amin.

 

 

Manokwari, 18 November 2013

 

 
 

Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..        i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………        ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang ……………………………………………………………………….        1

1.2  Rumusan Masalah …………………………………………………………………..        2

1.3  Tujuan ……………………………………………………………………………………        2

BAB II PEMBAHASAN

2.1  Pendekatan Siswa Bermasalah ………………………………………………….        3

2.2  Mekanisme Penanganan Siswa Bermasalah ………………………………..        4

2.3  Tingkatan Masalah Siswa Beserta Mekanisme Penanganannya ……..        5

2.4  Penyebab dan Cara Mengatasi Anak yang Malas Belajar ……………..        6

BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan …………………………………………………………………………….        11

3.2  Saran ……………………………………………………………………………………..        11

DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Setiap orangtua pasti berharap agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Alangkah bahagianya para orangtua apabila anak-anaknya yang sudah menginjak usia sekolah dapat bersekolah dengan baik, bisa bangun pagi-pagi, tidak bermasalah dengan teman-temannya, rajin belajar, tidak suka berbohong, sopan, suka menolong, patuh kepada orangtua dan guru, apalagi rajin pula beribadah.

Namun, apabila anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya mudah memberontak, atau kalau sang anak sudah mulai besar ia suka berbohong, mencuri, menakali teman, atau malas belajar, tidak jarang orangtua dan guru kebingungan bagaimana cara mengatasinya. Ketika sekali atau dua kali orangtuamenasihati anak tersebut namun tetap tidak berubah, tak sedikit pula orangtua yang justru memarahi anaknya, memberikan hukuman, atau bahkan memukul sang anak. Ketika keadaan sudah begini, tidak banyak dari orangtua yang bisa berpikir dengan tenang untuk mencari jawab mengapa anaknya menjadi bermasalah.

Anak bermasalah yang dimaksudkan di sini adalah anak yang mempunyai perilaku tidak sesuai dengan keinginan atau harapan orangtua yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh orangtua, keluarga, atau bahkan lingkungan. Di dalam menangani anak bermasalah apakah dibenarkan melalui cara, misalnya, memarahi anak, mengurung anak, atau bahkan memukulinya? Sudah tentu, cara-cara tersebut tidak dapat dibenarkan, di samping termasuk “kejahatan terhadap anak”, cara tersebut juga tidak efektif untuk mengubah perilaku anak bermasalah menjadi baik. Jika memang berubah menjadi baik, perubahan yang terjadi akan menyimpan kesan buruk dalam diri anak, atau perubahan itu tidak berlangsung lama karena tidak berangkat dari sebuah kesadaran.

Pada saat sekarang ini menjalani profesi sebagai tenaga pendidik bisa di katakan tidak mudah. Hal ini dikarenakan selainharus mempersiapkan materi yang akan di sampaikan kepada siswanya, ia juga harus bisa memahami psikologi anak didiknya dan mengatasi segala masalah yang disebabkan oleh para anak didiknya sendiri,baik itu ketika anak didiknya melakukan ulah di dalam kelas maupun di luar kelas.Jika seorang tenaga pengajar tidak bisa mengatasi segala masalah yang terjadi maka  tenaga pengajar tersebut akan terbawa emosi,yang suatu saat bisa ia luapkan kepada anak didiknya bahkan dapat berupa tindakan kekerasan yang bisa meninggalkan bekas luka terhadap siswa yang bersangkutan.Jika hal tersebut terjadi maka tenaga pendidik yang bersangkutan akan terkena undang-undangPasal 54 Undang-undang No. 23 Tahun 2001 tentang perlindungan Anakyang menyatakan “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya didalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya

Dari berbagai keadaan tersebut maka penulis mencoba mengambil tema “Kiat Menangani Siswa yang Bermasalah di Sekolah” guna mengetahui langkah-langkah yang tepat dalam menangani masalah-masalah peserta didik di sekolah.

 

1.2  Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Apakah saja yang menyebabkan siswa menjadi bermasalah di sekolah?
  2. Bagaimana mekanisme penanganan siswa yang bermasalah di sekolah?

 

1.3  Tujuan

Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut :

  1. Mengetahui penyebab siswa menjadi bermasalah di sekolah.
  2. Menjelaskan mekanisme penanganan siswa yang bermasalah di sekolah.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Pendekatan Siswa Bermasalah

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu melalui pendekatan disiplin dan pendekatan bimbingan dan konseling.

Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.

Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.

 

2.2  Mekanisme Penanganan Siswa Bermasalah

Kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.

Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.

Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.

 

2.3  Tingkatan Masalah Siswa Berserta Mekanisme Penanganannya

Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konselinglebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, yaitu :

  1. Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
  2. Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakankonferensi kasus.
  3. Masalah (kasus) berat,seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.

Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.

 

2.4  Penyebab dan Cara Mengatasi Anak yang Malas Belajar

Malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tidak suka, tak bernafsu untuk belajar ( Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia)

Dalam mengatasi masalah pada anak, seorang guru juga harus menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua siswa. Guru hanya mampu mengontrol anak tersebut apabila berada di sekolah. Selanjutnya orang tua yang mengontrol anaknya di rumah. Oleh sebab itu guru diharapkan untuk menjelaskan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mendidik anak di lingkungan rumah.

Anak malas belajar sudah menjadi salah satu keluhan umum orang tua. Kasus yang biasa terjadi adalah anak lebih suka bermain dari pada belajar. Anak usia sekolah tentunya perlu untuk belajar, antara lain berupa  mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (PR)  ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah.

Jika anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya karena bagi mereka tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan).

Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab utama siswa untuk malas belajar yaitu :

  1. Faktor Intrinsik (dalam diri anak sendiri) 
  • Kurangnya waktu yang disediakan untuk bermain 
  • kelelahan dalam beraktifitas (misal, terlalu banyak bermain)
  • sedang sakit
  • sedang sedih (misal, bertengkar dengan teman sekolah)

     2   Faktor ekstrinsik

  • Sikap orang tua yang tidak memperhatikan anak dalam belajar atau sebaliknya. Banyak orang tua yang menuntut anak belajar hanya demi angka (nilai) dan bukan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab anak selaku pelajar.
  • Sedang punya masalah di rumah 
  • Bermasalah disekolah (phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan).
  • Tidak mempunyai sarana yang menunjang belajar (misal tidak tersedianya ruang belajar khusus, meja belajar, buku pejunjang, dan penerangan yang bagus, alat tulis, buku, dan sebagainya)
  • Suasana rumah penuh dengan kegaduhan, keadaan rumah yang berantakan ataupun kondisi udara ynag pengap. Selain itu tersedianya fasilitas permainan ynag berlebihan di rumah juga dapat mengganggu minat belajar anak, mulai dari radio, tape, VCD, DVD, atau komputer dan Plays Stations. 

Mencari penyebab-penyebab masalah pada siswa sehingga malas belajar merupakan salah satu cara untuk mengatasi malas belajar pada siswa. Cara selanjutnya yang dapat digunakan dalam mengatasi hal-hal tersebut yaitu :

 

  1. Menanamkan pengertian yang benar tentang belajar pada anak sejak dini.Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, menumbuhkan inisiatif belajar pada anak, menumbuhkan kesadaran serta tanggung jawab selaku pelajar pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka panjang.
  2. Berikan contoh belajar pada anak.Anak cenderung meniru perilaku oarang tua. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orang tua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku). Sesekali ayah dan ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik – topik serius.
  3. Berikan insentif jika anak belajar.Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh 
  4. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari ikut menjawab kuis ). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan “Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama”. Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya. Mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode tertentu yang sesuai dengan kemampuan anak. Misalnya active learning atau learning by doing, atau learning through playing, sehingga anak merasakan bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan.
  5. Komunikasi. Hendaklah orangtua membuka diri, berkomunikasi dengan anaknya guna memperoleh secara langsung informasi yang tepat mengenai dirinya. Carilah situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dengannya. Setelah itu ajaklah anak untuk mengungkapkan penyebab ia malas belajar. Pergunakan setiap suasana yang santai seperti saat membantu ibu di dapur, berjalan-jalan atau sambil bermain, tidak harus formal yang membuat anak tidak bisa membuka permasalahan dirinya.
  6. Menciptakan disiplin.Jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti.
  7. Menegakkan kedisiplinan.Menegakkan kedisiplinan harus dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan rutinitas  yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan pelanggaran sedapat mungkin hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer, menyentil, mencubit, atau memukul).  gunakanlah konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal pikiran anak.
  8. Pilih waktu belajar terbaikuntuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya.
  9. Kenali pola kemampuan dan perkembangan anak kemudian  susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai.Dalam hal ini IQ, EQ, kemampuan konsentrasi ,daya serap dan sebagainya.
  10. Menciptakan suasana belajar yang baik dan nyaman. Setidaknya orangtua memenuhi kebutuhan sarana belajar, memberikan perhatian dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar. Sebagai selingan orangtua dapat pula memberikan permainan-permainan yang mendidik agar suasana belajar tidak tegang dan tetap menarik perhatian.
  11. Menghibur dan memberikan solusi yang baik dan bijaksana pada anak.Dalam hal ini jika anak sakit/sedih.

 

Beberapa hal yang tidak kalah pentingnya dalam menyikapi anak yang sedang dilanda malas belajat adalah :

  1. Orangtua harus menyadari sisi positif sang anak.

Galilah sisi positif anak agar anak menyadari dirinya sendiri untuk mengatasi masalahnya. Pernah nggak sih kamu menghadapi PR yang sangat sulit, tapi akhirnya bisa mengatasinya? Ajak anak untuk mengingat ingat, dan kemudian bercerita. Begitu anak mengingat momen itu, gali lebih jauh. PR apa itu, apa saja kesulitannya, bagaimana dia mengatasinya, dan seterusnya.

Anak akhirnya tersadar bahwa dia bisa mengatasi kesulitan-kesulitannya itu, karena dia memiliki sisi positif tertentu. Sisi itu bergantung dari sang anak. Bisa saja karena kesabaran, keuletan, usaha dia untuk bertanya kepada teman, dan sebagainya. Perkuat keyakinan anak, atau sadarkan anak. Misalnya dengan mengatakan: Nah, kamu pernah mengalami hal yang seperti ini, dan berarti kamu bisa mengatasinya

 

  1. Gunakan imajinasi anak

Orangtua membantu anak membayangkan, apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Baik dalam waktu panjang atau pendek. Pancing anak untuk membayangkan sesuatu yang menyenangkan jika dia berhasil mengerjakan PR-nya dengan baik., kira-kira apa ya komentar dari guru? Minta dia menggambarkan imajinasinya dengan jelas, apa jadinya jika PR-nya bagus. Mulai dari bagaimana senyum sang guru, komentarnya, dan sebagainya.

 

  1. Mengarahkan anak untuk berteman dan “hidup” dalam lingkungan yang baik dan mendukung.

 

  1. Tidak terfokus bahwa belajar hanya berkutat pada buku non fiksi.

Gunakan segala hal yang baik yang mampu membuat anak “belajar”tentang segala sesuatu, termasuk permainannya karena dunia bermain adalah dunia anak-anak Pilih dan arahkan permainannya sehingga anak bisa berkembang.

 

  1. Memberikan bekal nilai-nilai religius pada anak

Inilah faktor yang sangat penting ,disamping doa orang tua akan anak-anaknya. Apalagi di jaman yang berkembang dengan pesatnya. Tak mungkin orang tua memberikan pengawasan secara kasat mata terus menerus.Juga kemajuan teknologi. Satu hal yang menjadi jawabnya adalah: beragama dengan baik dan benar.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Dengan demikian orangtua dan tenaga pendidik mempunyai peran penting dalam penanganan siswa yang bermasalah, hal tersebut tidak semata-mata menjadi tanggung jawab tenaga pendidik di sekolah saja tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.

Dalam mengatasi siswa yang bermasalah tidak di benarkan untuk melakukan tindakan kekerasan yang bahkan dapat melukai siswa tersebut. Upaya-upaya yang positif seperti mendekati dan mengenal pribadi dari siswa bermasalah tersebut jauh lebih baik untuk diterapkan.

 

3.2  Saran

Sebagai calon tenaga pendidik sebaiknya mampu mengerti dan memahami kepribadian peserta didiknya sehingga apabila pendidik menemui masalah pada siswanya, pendidik dapat mengambil upaya positif dalam mengatasi siswa yang bermasalah di sekolah tersebut.

 

DAFTAR ISI

 

http://www.m-edukasi.web.id/2013/07/penanganan-siswa-bermasalah.html (diunduh pada 13/03/2014 pukul 05:23)

http://www.e-psikologi.com/anak/060502.htm (diunduh pada 13/03/2014 pukul 05:47)

http://www.keluargabahagia.com/artikel.php?act=detail&id=13 (diunduh pada 14/03/2014 pukul 15:39)

Kutipan dari Makalah yang disusun oleh Dewi Musarofah

 

 

Persamaan dn Perbedaan Kurikulum KTSP dengan Kurikulum 2013

 

Persamaan dan Perbedaan Kurikulum 2006 (KTSP) dengan Kurikulum 2013

Tingkat SMA/MA

 

  1. Pengertian Kurikulum

 

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai pendidikan nasional.

 

  1. Kurikulum 2006 (KTSP)

 

  1. Pengertian Kurikulum KTSP

KTSP yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/ sekolah.

 

  1. Kelebihan Kurikulum 2006 (KTSP)

1)      Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum dimasa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal.

2)      Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.

3)      KTSP sangat memungkinkan bagisetiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh daerah kawasan wisata dapat mengembangkan kepariwisataan dan bahasa inggris, sebagai keterampilan hidup.

4)      KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat. Karena beban belajar yang berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

5)      KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.

6)      Guru sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, dan pengembang kurikulum.

7)      Kurikulum sangat humanis, yaitu memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan siswa, dan kondisi daerahnya masing-masing.

8)      Menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi terutama di sekolah yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar.

9)      Standar kompetensi yangmemperhatikan kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun konteks sosial budaya.

10)  Berbasis kompetensi sehingga peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan.

11)  Pengembangan kurikulum dilaksanakan secara desentralisasi (pada satuan tingkat pendidikan) sehingga pemerintah dan masyarakat bersama-sama menentukan standar pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum.

12)  Satuan pendidikan diberikan keleluasaan untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasikan potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat disekitar sekolah.

13)  Guru sebagai fasilitator yang bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar siswa.

14)  Mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi individual.

15)  Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjadinya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja yang membentuk kompetensi peserta didik.

16)  Evaluasi berbasis kelas yang menekankan pada proses dan hasil belajar.

17)  Berpusat pada siswa.

18)  Menggunakan berbagai sumber belajar.

19)  Kegiatan belajar lebihbervariasi, dinamis, dan menyenangkan.

 

  1. Kelemahan Kurikulum 2006 (KTSP)

1)      Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada serta minimnya kualitas guru dan sekolah.

2)      Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.

3)      Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik konsep, penyusunannya, maupun prakteknya di lapangan.

4)      Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai syarat sertifikasi guru untuk mendapatkan tunjangan profesi.

 

 

 

  1. Kurikulum 2013

 

  1. Pengertian Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang sedang dalam tahap perencanaan dan saat ini sedang dalam proses pelaksanaan oleh pemerintah, karena ini merupakan perubahan dari struktur kurikulum KTSP. Perubahan ini dilakukan karena banyaknnya masalah dan salah satu upaya untuk memperbaiki kurikulum yang kurang tepat.

Kurikulum ini masih berprinsip sama dengan KTSP, khususnya di SD, perbedaannya ialah pada penyederhanaan mata pelajaran, pendekatan terpadu dengan teknik tematik integratif, penambahan beban belajar dan pengurangan jumlah Kompetensi Dasar yang diharapkan akan memberikan keleluasaan waktu bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi siswa aktif.

SK atau disebut Kompetensi Inti pada kurikulum 2013 adalah hampir sama pada setiap kelas dan setiap mata pelajaran dengan sedikit penambahan bobot pada jenjang yang lebih tinggi. Kompetensi Inti ini dibagi menjadi empat aspek, yaitu aspek keagamaan (kompetensi inti 1), sikap sosial (kompetensi 2), pengetahuan (kompetensi inti 3), dan penerapan pengetahuan (kompetensi 4).

 

  1. Kelebihan Kurikulum 2013
  1. Lebih menekankan pada pendidikan karakter. Selain kreatif dan inovatif, pendidikan karakter juga penting yang nantinya terintegrasi menjadi satu. Misalnya, pendidikan budi pekerti luhur dan karakter harus diintegrasikan kesemua program studi.
  2. Asumsi dari kurikulum 2013 adalah tidak ada perbedaan antara anak desa atau kota. Seringkali anak di desa cenderung tidak diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka.
  3. Merangsang pendidikan siswa dari awal, misalnya melalui jenjang pendidikan anak usia dini.
  4. Kesiapan terletak pada guru. Guru juga harus terus dipacu kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan dan pendidikan calon guru untuk meningkatkan kecakapan profesionalisme secara terus menerus.
    1. Kelemahan Kurikulum 2013
  5. Pemerintah seolah melihat semua guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama dalam kurikulum 2013. Guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013.
  6. Tidak ada keseimbangan antara orientasi proses pembelajaran dan hasil dalam kurikulum 2013. Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan ujian nasional (UN) masih diberlakukan.
  7. Pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang pendidikan dasar tidak tepat, karena rumpun ilmu pelajaran-pelajaran tersebut berbeda.

Berikut ini adalah tabel Persamaan dan Perbedaan Kurikulum KTSP dengan Kurikulum 2013 di Tingkat SMA/MA:

  1. Perbedaan Kurikulum KTSP 2006 dengan Kurikulum 2013

NO

PERBEDAAN

KURIKULUM 2006

KURIKULUM 2013

1

Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan

Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.

  • Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  • Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  • Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

 

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pendidikan dasar dan menengah, dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang:

  • Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
  • Berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
  • Sehat, mandiri, dan percaya diri;
  • Toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

 

 

 

Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut.

  • Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia.
  • Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian.
  • Kelompok mata pelajaran  ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Kelompok mata pelajaran estetika.
  • Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Ditinjau dari manajemen sekolah, maka KTSP pada dasarnya merupakan bentuk perencanaan satuan pendidikan pada bidang intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler untuk mencapai visi, misi, dan tujuannya. Dokumen KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah setidak-tidaknya meliputi:

  • Kurikulum nasional yang terdiri dari Rasional, Kerangka Dasar Kurikulum, Struktur Kurikulum, Deskripsi Matapelajaran, KI dan KD, dan Silabus untuk satuan pendidikan terkait.
  • Kurda yang terdiri dari KD dan Silabus  yang dikembangkan oleh daerah yang bersangkutan, dengan acuan KI yang dikembangkan pada kurikulum nasional
  • Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
  • Kegiatan kurikuler (intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler).
  • Kalender Pendidikan.
 

Sistem yang digunakan

Dalam kurikulum 2006 yang digunakan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar

Berbasis mata pelajaran, masing-masing disiplin ilmu dibahas atau dikelompokkan dalam satu mata pelajaran.

Dalam kurikulum 2013 yang digunakan  Kompetensi Inti (KI)

Berbasis tematik, sehingga dalam pembelajaran yang digunakan adalah tema-tema yang menjadi acuan atau bahan ajar.

 

Silabus yang digunakan

Silabus yang digunakan adalah silabus yang dibuat oleh masing-masing satuan pendidikan yang berdasarkan silabus nasional.

Silabus yang digunakan adalah silabus dari pusat, sehingga seluruh indonesia menggunakan silabus yang sama.

6

Mata pelajaran pancasila

Dalam kurikulum 2006, mata pelajaran pendidikan pancasila ditiadakan dan diganti dengan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Dalam kurikulum 2013, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dirubah menjadi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.

5

Implementasi kurikulum

Dalam kurikulum 2006, sistem yang digunakan adalah penjurusan.

Dalam kurikulum 2013, sistem yang digunakan adalah peminatan.

7

Beban belajar siswa

Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran yang terlalu kompleks melebihi kemampuan siswa.

Beban belajar siswa lebih sedikit dan disesuaikan dengan kemampuan siswa

8

Proses penilaian

Berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output

Berbasis kemampuan

melalui penilaian proses dan output

10

Penilaian

Menekankan aspek kognitif

Test menjadi cara penilaian yang dominan

Menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik secara proporsional Penilaian test dan portofolio saling melengkapi

11

Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Memenuhi kompetensi profesi saja Fokus pada ukuran kinerja PTK

Memenuhi kompetensi profesi, pedagogi, sosial, dan personal motivasi mengajar

12

Pengelolaan Kurikulum

Satuan pendidikan mempunyai kebebasan dalampengelolaan kurikulum.

Terdapat kecenderungan satuan pendidikan menyusun kurikulum tanpa

mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah.

Pemerintah hanya menyiapkan sampai standar isi mata pelajaran

(Satuan pendidikan mempunyai kebebasan dalam pengelolaan kurikulum)

Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki kendali kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di tingkat satuan pendidikan

Satuan pendidikan mampumenyusun

kurikulum dengan mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah

(Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki kendali kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di tingkat satuan pendidikan)

13

Penjurusan di SLTA/Sederajat

Untuk SMA ada penjurusan sejak kelas XI. Dimana mata pelajarannya sesuai dengan penjurusan yang dipilih.

Penjurusan SMA dilakukan sejak kelas X, diamana ada mata pelajaran wajib, peminatan, antar minat dan pendalaman minat.

14

Kapasitas jam pelajaran

Jumlah jam pelajaran lebih sedikit dari pada jumalah mata pelajarannya. Dimana jumlah mata pelajaran lebih banyak dibanding kurikulum 2013.

Jumlah jam pelajaran per minggu lebih banyak dari pada jumlah mata pelajaran. Dimana jumlah mata pelajaran lebih sedikit dibanding kurikulum KTSP.

15

Standar Kompetensi

SMA dan SMK tanpa kesamaan kompetensi

SMA dan SMK memiliki mata pelajaran wajib yang sama terkait dasar-dasar pengetahuan, keterampilan ,dan sikap.

16

Standar penilaian

Standart penilaian lebih dominan pada aspek pengetahuan.

Standart penilaian menggunakan penilaian otentik yaitu mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil.

17

Konten pembelajaran

Tiap jenis konten pembelajaran diajarkan terpisah

Bermacam jenis konten pembelajaran diajarkan terkait dan terpadu satu sama lain. Konten ilmu pengetahuan diintegrasikan dan dijadikan penggerak konten pembelajaran lainnya.

 

  II.     Persamaan Kurikulum KTSP 2006 dengan Kurikulum 2013

  1. Kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013 sama-sama menampilkan teks sebagai butir-butir KD.
  2. Untuk struktur kurikulumnya baik pada KTSP atau pada 2013 sama-sama dibuat atau dirancang oleh pemerintah tepatnya oleh Depdiknas.
  3. Beberapa mata pelajaran masih ada yang sama seperti KTSP. 
  4. Terdapat kesamaan esensi kurikulum, misalnya pada pendekatan ilmiah yang pada hakekatnya berpusat pada siswa. Dimana siswa yang mencari pengetahuan bukan menerima pengetahuan.

 

Belajar dan Pembelajaran

TUGAS

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

“TEORI KONTRUKTIVISME”

 

 

 

 

 

OLEH :

 

HENDRA YUDI PURNOMO (2011 58 003)

UMI USWATUN CHASANAH (2011 58 012)

RISMAWATI (2011 58 011)

SULIYATI (2011 58 002)

 

 

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PAPUA

MANOKWARI

2013

 

 

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

PENDAHULUAN

Proses belajar mengajar merupakan aktivitas antara guru dengan siswa di dalam kelas. Dalam proses itu terdapat proses pembelajaran yang berlangsung akibat penyatuan materi, media, guru, siswa, dan konteks belajar. Proses belajar mengajar yang baik adalah proses belajar yang dapat mengena pada sasaran melalui kegiatan yang sistematis dan untuk itu sangatlah diperlukan keaktifan guru dan siswa untuk menciptakan proses belajar mengajar yang baik tersebut.

Dalam proses belajar mengajar, strategi sangat dibutuhkan oleh guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Strategi merupakan cara atau keinginan guru dalam membawa siswa menuju target yang diinginkan secara tepat.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar. Strategi itu adalah: (1) mengidentifikasikan serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian siswa seperti yang diharapkan, (2) memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat, (3) memilih dan menetapkan prosedur, metode dan tehnik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan guru dalam melaksanakan pembelajaran, dan (4) menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam mengevaluasi kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya dijadikan umpan balik untuk kepentingan kegiatan pembelajaran.

Konstruktivistik merupakan salah satu landasan berpikir pendekatan pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL), yaitu pengetahuan yang dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu, memberi makna melalui pengetahuan itu, kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata. Esensi dari teori konstruktivistik adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentranformasikan situasi kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Dengan dasar tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruk” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.

Konstruktivistik menekankan pada prinsip belajar yang berpusat pada siswa (student center). Siswa harus menjadikan informasi itu sebagai miliknya sendiri. Dalam hal ini guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswalah yang harus membangun pengetahuan di dalam benaknya.

 

A. Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme bermula dari gagasan Piaget dan Vigotsky. Piaget dan Vigotsky berpendapat bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Keduanya menekankan adanya hakekat sosial dari belajar. Pembelajaran kooperatif, berbasis kegiatan dan penemuan merupakan pilihan yang sesuai untuk pembelajaran. Hakekat dari teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus secara individu menemukan dan menerapkan informasi-informasi kompleks ke dalam situasi lain apabila mereka harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Siswa berperan aktif dalam pembelajaran, sedangkan guru adalah membantu membuat kondisi yang memungkinkan siswa untuk secara mandiri menemukan fakta, konsep atau prinsip.

Menurut Wina Sanjaya (2008: 264) bahwa “konstruktivistik adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Guru bukanlah pemberi informasi, dan jawaban atas semua masalah yang terjadi di kelas”.

Selanjutnya Aunurrahman (2009: 28) bahwa: “konstruktivistik memberikan arah yang jelas bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan sekedar merupakan kegiatan mekanistik untuk mengumpulkan informasi atau fakta saja”.

Menurut faham konstruktivisme pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru.  Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).

Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Trianto, 2010: 113).

Adapun ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivistik yaitu:

  1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
  2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
  3. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
  4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negoisasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Yulaelawati, 2004: 54)

Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.

Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:

  1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
  2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
  3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
  4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
    Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

 

B. Peletak Dasar Paham Konstruktivisme

 

Ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky serta Ahli Psikologi Amerika Jerome Bruner merupakan tokoh dalam pengembangan konsep konstruktivisme. Mereka merupakan peletak dasar paham konstruktivisme dengan kajiannya bertahun-tahun dalam bidang psikologi dan perkembangan intelektual anak.

Jean Piaget (1886-1980) adalah seorang ahli psikologi Swiss, yang mendalami bagaimana anak berpikir dan berproses yang berkaitan dengan perkembangan intelektual. Piaget menjelaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus dan berusaha memahami dunia sekitarnya.

Lebih lanjut Piaget mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka.

Lev Vygotsky(1896-1834) adalah ahli psikologi Rusia. Menurutnya perkembangan intelektual anak terjadi pada saat berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang. Mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang muncul dari pengalaman ini. Dalam upaya mendapatkan pengalaman baru, Individu mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan membangun pengertianbaru.

Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi Harvard. Jerome Bruner dan koleganya mengemukakan teori pendukung penting yang kemudian dikenal sebagai pembelajaran penemuan. Pembelajaran penemuan adalah suatu pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajarannya terjadi melalui penemuan pribadi. Menurut Bruner bahwa menemukan sesuatu oleh murid memakan waktu yang lebih banyak, apa yang dapat diajarkan dalam waktu 30 menit, mungkin memerlukan 4-5 jam, yakni merumuskan masalah, merencanakan cara memecahkannya, melakukan percobaan, membuat kesalahan, berpikir untuk mengatasinya, dan akhirnya menemukan penyelesaiannya tak ternilai harganya bagi cara belajar selanjutnya atas kemampuan sendiri.

Cara belajar yang terbaik menurut Bruner adalah memahami konsep, arti, dan hubungan dan sampai pada suatu kesimpulan. Dengan teorinya: Free Discovery Learning”, Bruner mengatakan bahwa: “Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya” (Budiningsih, 2005: 43)

 

C. Prinsip-Prinsip Konstruktivistik

 

            Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivistik yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:

  1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
  3. Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
  4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar.
  5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
  6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
  7. Mencari dan menilai pendapat siswa
  8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari prinsip-prinsip tersebut di atas hanya terdapat satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

 

D.Konstruktivistik dalam Pembelajaran

Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar.

Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005: 59).

Kegiatan belajar dalam kelas konstruktivis adalah seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan meng’encourage’ (mendorong) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.

Pendekatan konstruktivistik dalam pengajaran, merupakan penerapan pembelajaran kooperatif secara luas, berdasarkan teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok, untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Sekali lagi, penekanan pada hakikat sosial dalam belajar dan penggunaan kelompok sejawat untuk memodelkan cara berpikir dan sesuai dan saling mengemukakan dan meluruskan kekeliruan pengertian atau miskonsepsi-miskonsepsi diantara mereka sendiri. Dalam hal ini siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka; metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa tetapi juga membuat proses berpikir siswa lain lebih terbuka untuk seluruh siswa.

Istilah kooperatif memberikan gambaran bahwa adanya hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih. Hubungan ini dapat berupa kerjasama dan saling membutuhkan dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang mungkin timbul, sehingga mereka yang terlibat didalamnya mempunyai keberanian dalam memecahkan suatu permasalahan bahkan akan lebih muda dipecahkan.

Pembelajaran konstruktivistik meliputi empat tahapan yaitu:

1. Apersepsi.

Pada tahap ini dilakukan kegiatan menghubungkan konsepsi awal, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dari materi sebelumnya yang merupakan konsep prasyarat.

Misalnya: mengapa baling-baling dapat berputar?

2. Eksplorasi.

Pada tahap ini siswa mengungkapkan dugaan sementara terhadap konsep yang mau dipelajari. Kemudian siswa menggali menyelidiki dan menemukan sendiri konsep sebagai jawaban dari dugaan sementara yang dikemukakan pada tahap sebelumnya, melalui manipulasi benda langsung.

3. Diskusi dan Penjelasan Konsep.

Pada tahap ini siswa mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan tamuannya, pada tahap ini pula guru menjadi fasilitator dalam menampung dan membantu siswa membuat kesepakatan kelas, yaitu setuju atau tidak dengan pendapat kelompok lain serta memotivasi siswa mengungkapkan alasan dari kesepakatan tersebut melalui kegiatan tanya jawab.

4. Pengembangan dan Aplikasi.

Pada tahap ini guru memberikan penekanan terhadap konsep-konsep esensial, kamudian siswa membuat kesimpulan melalui bimbingan guru dan menerapkan pemahaman konseptual yang telah diperoleh melalui pembelajaran saat itu melalui pengerjaan tugas.

 

E.Kelebihan dan Kekurangan Teori Psikologi Belajar Konstruktivistik

Pada dasarnya tidak terdapat pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar yang paling baik untuk semua materi pelajaran, yang ada adalah sesuai atau tidak dengan materi pelajaran pada waktu dan kondisi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru diharapkan menguasai berbagai macam pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar sebab setiap pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar memiliki kelebihan dan kekurangan.

 

  1. Kelebihan

Adapun kelebihan dari pembelajaran berdasarkan konstruktivistik adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisitdengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
  2. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
  3. Memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
  4. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar
  5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
  6. Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

 

  1. Kekurangan

Adapun kekurangan dari pembelajaran berdasarkan konstruktivistik adalah sebagai berikut:

  1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
  2. Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
  3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
  4. Ketidaksiapan murid untuk merancang strategi, berfikir dan menilai sendiri pengajaran berdasarkan pengalamannya sendiri. Tidak semua murid mempunyai pengalaman yang sama, masalah ini kadang menyebabkan aktivitas pengajaran menjadi tidak bermakna bagi siswa.

 

F. Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik

Dalam konstruktivistik, terdapat lima unsur penting dalam lingkungan pembelajarannya, yaitu:

  1. Memperhatikan dan Memanfaatkan Pengetahuan Awal Siswa

Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstrukti pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

  1. Pengalaman Belajar yang Bermakna.

Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.

  1. Adanya Lingkungan Sosial yang Kondusif

Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.

  1. Adanya Dorongan Agar Siswa Bisa Mandiri.

Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.

  1. Adanya Usaha Untuk Mengenalkan Siswa Tentang Dunia Ilmiah

Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

 

KESIMPULAN

Konstruktivistik merupakan salah satu landasan berpikir pendekatan pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL), yaitu pengetahuan yang dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Konstruktivistik menekankan pada prinsip belajar yang berpusat pada siswa (student center).

Prinsip yang paling penting diterapkan dalam pembelajaran konstruktivistik adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan lancar.

Terdapat lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa, (2) pengalaman belajar yang bermakna, (3) adanya lingkungan sosial yang kondusif, (4) adanya dorongan agar siswa bisa mandiri, dan (5) adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.